Powered by Blogger.

Kaya Dengan Cara Berbagi















Senin, 27/5/2002

Kaya Dengan Cara Berbagi
Oleh: Gede Prama

Terlanjur memiliki logat bicara seperti orang Batak, membuat banyak sahabat asli Sumatera Utara sana mudah akrab dengan saya. Salah satu hasil sampingannya, sering mendapat bocoran tentang lawakan orang Batak. Menurut seorang sahabat yang menghabiskan sekolah dasarnya di tanah Karo sana, suatu waktu guru bertanya dengan nada menguji ke murid : siapa pencipta lagu Indonesia Raya ?. Tidak ada murid yang menaikkan tangan sebagai tanda tidak ada yang tahu jawabannya. Sekali lagi gurunya mengajukan pertanyaan yang sama, karena khawatir pertanyaannya tidak jelas, sekali ini juga tidak ada yang menaikkan tangan.

Kesal dengan perilaku murid yang malas belajar di rumah, guru inipun kemudian menunjuk salah seorang murid sambil bertanya : ‘Ucok, siapa pencipta lagu Indonesia Raya ?. Tentu saja si Ucok yang ditunjuk gelagapan dan ketakutan. Biasa, orang ketakutan kemudian menjawab dengan jawaban ngawur. Dengan spontan, Ucok menjawab : ‘bukan saya Pak !’.
Ketika pertama kali bahan canda ini saya dengar, saya sempat terpingkal-pingkal sebentar. Namun, ketika memasuki banyak perusahaan klien untuk membenahi organisasi mereka, kerap saya bertemu dengan orang dengan jawaban sama : ‘bukan saya Pak !’. Terutama kalau ada kesalahan, hampir semuanya serempak dengan jawaban khas ala Ucok. Untuk kemudian saling tuding dan saling tunjuk hidung. Sebagai akibatnya, meminjam argumen Rosabeth Moss Kanter dari Harvard, banyak organisasi terkena penyakit NIH (not in here).
Sekilas memang tidak ada yang keliru dari cara kerja dan cara hidup seperti ini, namun kalau didalami ia menyimpan persoalan potensial yang tidak kecil. Dalam pengelolaan pengetahuan, organisasi yang penuh dengan NIH sulit melakukan penyebaran pengetahuan. Dalam kematangan kepemimpinan, ia cermin dari banyaknya anak kecil yang berbadan besar. Dalam dinamika organisasi, NIH adalah tanda-tanda awal organisasi yang dimakan rayap.
Izinkan saya meneropongnya dari segi yang lain. Hampir semua karya fisikawan Einstein mencoba meyakinkan manusia, kalau apa yang kita sebut dengan benda padat (badan kita salah satunya) kebanyakan terdiri dari ruang kosong, lengkap dengan medan energinya. Dan mekanika kuantum menambahkan, perilaku partikel elementer (sebagai bagian kecil dari atom) berbeda ketika ada pengamat dengan tatkala tidak ada pengamat. Ini berarti, antara medan energi kita dengan medan energi orang lain dan juga semesta terjadi komunikasi dan interaksi yang mempengaruhi perilaku.
Meminjam argumen seorang sahabat penulis yang jernih, peradaban manusia sekarang ini ditandai oleh terlalu banyak perebutan energi antara satu manusia dengan manusia lain. Mudah dimaklumi, kalau perang, konflik, kebencian bertebaran di mana-mana. Dalam keadaan perebutan energi yang demikian memanas, kemudian banyak manusia yang putus hubungan dengan pusat energi. Sehingga tidak ada pilihan lain untuk mempertahankan energi (sebagai syarat survive dalam hidup) terkecuali merebut energi orang lain.
Di titik inilah, manusia memerlukan keberanian untuk keluar dari lingkaran setan saling berebut energi. Merebut energi orang, bukanlah satu-satunya cara untuk menghindari defisit energi. Ada cara lain yang lebih layak untuk direnungkan : membina kembali hubungan dengan pusat energi.
Bedanya dengan orang-orang yang demikian terikatnya pada lingkaran setan perebutan energi, siapa saja yang mau berhubungan kembali dengan pusat energi memerlukan gerakan balik. Pemerkosa-pemerkosa energi ingin mangakumulasikannya dengan merebut, tetapi manusia jernih yang mau berhubungan dengan pusat energi, ia dituntut untuk berbagi. Bedanya dengan uang, kalau dibagi habis, energi yang sudah terkoneksi dengan pusat energi, justru akan semakin besar kalau kita bagi-bagi ke banyak orang.
Ada banyak peserta seminar yang bertanya : bagaimana berhubungan kembali dengan pusat energi ?. Sengaja saya berikan latar belakang fisika Einstein dan mekanika quantum, untuk menghindari kesan mistis dan tahayul dalam hal ini. Energi terbesar sebenarnya tersedia di alam semesta. Kendati setiap hari kita berhubungan dengan alam semesta (melalui udara, ibu pertiwi, air, cahaya matahari, pohon-pohonan dll), tetapi tidak setiap hari kita berhubungan dengan pusat energi. James Redfield dalam The Secret of Shambala, memberi saran sederhana namun mendasar : focus on the beauty. Ya dengan melihat segi-segi indah dari alam dan kehidupan, kita mulai melakukan hubungan dengan sumber energi. Syukur, dengan demikian, tidak saja menjadi sebentuk doa yang terbaik, tetapi langkah awal yang penting menuju pusat energi.
Dalam pelukan cahaya-cahaya keindahan (beauty) seperti ini, cinta tidak lagi menjadi konsep intelektual atau perintah moral. Ia adalah emosi latar belakang yang muncul ketika seseorang berhubungan dengan pusat energi. Dan berbagi, tidak lagi menjadi sebuah kewajiban yang memaksa, melainkan bagian dari aliran keindahan yang alami.
Hidup dengan berbagi energi seperti ini, memang tidak akan memuaskan semua orang. Kadang, ada sahabat yang menyebutnya dengan sikap kurang fight. Ada juga yang memberinya judul kebodohan. Ada rekan yang mencurigai seperti kaos kaki (baca : diinjak-injak orang). Yang paling menyedihkan, ada pemerkosa energi yang berani mengatakan kalau ini sebentuk kebodohan yang berbaju spiritualitas. Namun, begitu sampai di tingkatan ‘berhubungan’ dengan pusat energi, kita seperti berdiri tegak sembilan puluh derajat di bawah matahari. Tidak ada bayangan di belakang yang perlu ditakuti. Tidak ada bayangan di depan yang perlu dikejar. Dan Andapun tidak perlu mengemukanan : ‘bukan saya Pak !’.




0 Komentar untuk "Kaya Dengan Cara Berbagi"

Bawah slider

Back To Top